Sensitivite



Hidup dalam keadaan broken home membuayku manjafi terlihat seperti anak aneh menurut teman temanku.
Akibat kedua orang tuaku srring bertengkar di rumah, akupun mulai resah jika terlalu lama berdiam diri di tempat seperti medan perang ini.
Akupun sering mencari hiburan untuk diriku.

"bagaimana keadaan di sekolahmu nak? " ucap mamahku lembut

"di sekolah aki baik baik saja mah,  kata guruku,  aku ini anak yang baik" jawabku dengan senyuman lebar

"baguslah kalau begitu" ucap mamahku sembari kembali menjahit tangan kanannya dengan benang.

Kami memang keluarga miskin yang penuh dengan drama kekerasan di setiap harinya di rumah kecil ini.  Papahku seorang pemabuk berat. Namaun,  mamahku selalu setia bersamanya hingga akhirnya mamah selalu menerima amukan dari papah ketika pulang mabuk ataupun kalah dalam berjudi.

Brukk..

"aduh maaf" aku menabrak seorang siswi ketika aku ingin ke kantin.

"eh..  Maaf maaf aku yang salah kok" ucapnya dengan wajah panik melihat buku ki berserakan.

Dengan crpat ia membantuku membereskan buku ku ya berserakan kemudian ia dengan cepat pergi meninggalkan diriku.

"wah hoki kamu bisa tabrakan dengan siswi tercantik di kelas" ucap temanku menyapa

"e-eh..  Tercantik? " jawabku gugup

"ciee" godanya

Bel masuk pelajaranpun berbunyi dan semua murid ke kelasnya masing masing.

Aku kembali duduk di bangku paling belakang di kelasku sedangkan siswi yang katanya paling cantik duduk di baris ke dua pada barisan sebelah sehingga aku hanya bisa menatapnya dari samping.

"ken!"
"ken! " bentak Bu Lyra membuyarkan pandanganku dari Olive.

"eh..  Ia bu? " jawabku kaget.

"malah ngelamun lagi?  Coba apa yang tadi ibu terangkan!" bentak Bu Lyra

"emm..  Anu Bu" mendengar jawaban dariku yang gugup sontak membuat murid lainnya tertawa.

"sudah sudah, semuanya kembali perhatikan ibu"

Dan semua kembali seperti semula untuk kembali belajar.

Praanngg..
Sebotol miras kembali di pecahkan oleh papah dan di tusuk ke tangan mamah,  namun baru kali ini aku lihat mamah marah.  Mamah yang biasanya tersenyum lembut padaku, kini dia berubah seperti monster.
Mamah membalas perilaku papah saat itu.

"mah!  Stop mah!  Stop! " ucapku sambil menangis

"diam kau anak sialan! " ucap papah menampar pipi kiriku.

Mamah yang melihat itu semakin geram dalam membalas perbuatan papah padaku.

Mamah dengan ganas mencabut pisau yang ada di dapir dan langsung menikam papah dengan brutal.
Drah bercipratan dimana mana.
Tak ada suara amukan lagi selain isak tangisku dan tawa yang leas dari mamah.

"Ken,  hari ini kita makan daging" ucap mamah padaku dengan senyum menyeringai di wajahnya dan pisau bersimbah darah di tangan kanannya.

"ma-mah.. " ucapku tak percaya dengan air mata yang membasahi wajahku.
Malam harinya aku dengan mamah memakan potongan tubuh papah yang di masak pleh mamah.

"hiks.. " tangisku keluar

"di makan nak makasannya" ucap mamah padaku dengan pisau yang menancap meja yang masih di genggam tangan kiri mamah.


Aku dengan terpaksa memakan potongan tubuh papah dengan bersedih.

Keesokan harinya
Aku kembali memperhatikan wajah Olive dari tempat dudukku seperti biasa.  Bukan aku tertarik padanya,  tapi hanya memastikan apakah Olive benar benar gadis.tercantik di kelas

"Ken,  kali ini bapak pasangkan kamu dengan Olive" ucap Pak.Denny

"ciee" sontak sekelas bersorak.

"eh..  Tapi kenapa pak?  " tanyaku bingung

"lagian dari tadi kamu memperhatikan Olive dari tempatmu" ucap pak Denny mengejek.

hari hari terus berlalu dan berganti bulan. Karena selalu berpasangan dengan Olive, aku bahkan sampai tidak menyadarinya bahwa aku mulai ada rasa pada dirinya.

"Ken, lu suka sama Olive ya?" tanya Rox, anak lelaki bertubuh gempal dengan kulit sawo matang

"ehh.. anu..engg"

"kan sok gak mau, lagi" lanjut Rox namun terputus ketika Olive berjalan melewati kami

"tuh ada Olivenya, kalo gak lu ambil. gua aja dah yang maju"

"tapi gua gak bisa jawab sekarang,Rox" ucapku gugup menahan Rox yang ingin segera menemui Olive. mengganggu lebih tepatnya

Dengan tanpa aba aba Rox mulai mengganggu olive dengan sikap cari perhatiannya yang sangat menjijikan itu.

"ihh apaan sih rox?" ucap Olive geli melihat tingkah rox

"Ken.. itu sih Roxnya ganggu olive aja.." rintih Olive padaku

akupun hanya tersenyum untuk membalasnya dan Olive langsung pergi meninggalkan kami begitu saja. aku merasa tenang.

"yah pergi.. sini uy!" gertak Rox yang menyuruh Olive untuk kembali

Namun Olive menghiraukannya dan melanjutkan perjalanannya ke kantin dengan langkah cepatnya.

"hmm" hendusku dengan senyum kecil

"apaan sih Ken, gak ada yang lucu nih" ucap Rox sembari menabrak pundak kananku.

aku tak membalasnya. aku hanya tersenyum.

Sepulang sekolah Olive memintaku untuk menemaninya pulang, sejujurnya aku senang sekali bisa pulang bersamanya. Apa lagi hanya berdua seperti ini. Nyaman.

Ruamahnya cukup jauh dari rumahku, butuh waktu 30 menit untuk sampai ke rumah Olive dari sekolah dan 1 jam dari rumahku. tapi bagiku jarak tak jadi masalah jika bisa pergi bersama dirinya.

"Terimakasih ya Ken, maaf sudah merepotkanmu" Ucap Olive sebelum masuk gerbang rumahnya

"eh.. umm iyaa sama sama. gak apa kok aku suka" jawabku ragu sembari memalingkan pandanganku

tiba -tiba Olive menghentikan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah dan berbalik padaku

"eeh..? suka? Ken suka sama aku? sama Olive?" pertanyaannya membuat perasaanku sangat kacau

"ehh umm gak.. jadi ini, itu anu.. aduh itu apaan ya? haha" jawabku kikuk berantakan.

"jujur saja Ken" ucap Olve yang wajahnya makin mendekatiku.

"emm.."

"Ciee mukanya merah.. Ken mukanya merah cie.." ejek Olive padaku sembari mencubit pipi kiriku

"see you Ken.. Terimakasih ya" ucap Olive yang langsung masuk ke dalam rumah setelah mencubitku.

"iyaa sama sama" ucapku untuk kedua kainya, sembali mengelus pipi kiri yang tadi Olive cubit.

Setibanya di rumah aku di sambut hangat oleh mamahku seperti biasa.

"Ken.. makanan sudah siap di atas meja makan, mamah sudah duluan tadi" mamah berteriak dari kamarnya.

"iyaa mah, Ken mau mandi dulu" jawabku lembut pada mamah.

dan tak ada jawaban untuk itu.

Selepas mandi dan berganti pakaian kebetulan juga perutku sudah mulai konser akupun bergegas ke ruang makan dan membuka tujung saji yang menutupi makanan di dalamnya.
sayangnya ekspektasiku untuk makanan enak pupus sudah, saat ku buka tudung saji yang aku temukan bukan makanan nikmat, tapi kepala papah yang sudah di belah bagian atasnya dan menyisakan otaknya yang terlihat yang masih menmpel pada bagian kepala ingin muntah rasanya saat itu.
namun mataku melihat sesuatu di sebelahnya,  terdapat sepucuk surat dari mamah dengan tulisan tangannya.

"Nak.. makanannya di makan sampai habis ya, 
ini yang bisa mamah masak untuk terakhir kalinya"

sejenak aku terpaku pada kalimat 'Terakhir kalinya' sampai aku tersadar bahwa sesuatu ada yang tidak beres yang menimpa mamah.
dengan cepat aku berlari ke kamar mamah, sialnya aku telat menyadarinya, mamah sudah menggantung di langit langit kamar dengan luka sayatan di hampir seluruh tubuhnya, bahkan darah segarnya masih menetes dari tiap lukanya.

"Hwaaaaa...Haaaaaa...!!!" Perasaanku sangat kacau saat itu aku berteriak sekencang kencangnya di depan kamar mamah dengan air mata yang berderai.

aku berjalan di dinginnya malam , walaupun kini aku sudah emngenakan hoodie hitam kesukaanku, dinginnya masih tetap saja menusuk tulangku. Perut yang sudah tidak bisa di ajak kompromi lagi membuatku seperti orang mabuk yang berjalan sempoyongan, bahkan aku mengais sisa sisa makanan di tempat sampah di belakang restauran cepat saji.

"sampah, hanya ada lemak" geramku saat menemukan sesuatu yang kupikir adalah makanan.

"toloongg..." teriak sorang gadis dari gang yang ada di depanku.

"suara itu.." aku berfikir sejenak tentang suara yang tak asing bagiku itu.

"Olive!" aku langsung berlari ke arah suara itu.

Ternyata Olive sedang di ganggu oleh 2 pemuda berandal.

"sini manis, jangan malu malu.." ucap salah satu pemuda yang membuat Olive makin terpojok 

"jangan takut.. ayo kita main enak enak" lanjut pemuda satunya yang sudah seperti anjing kelaparan.

"tolongg.." pekik Olive

"tidak ada yang bisa menolongmu disini" ucap pemuda yang seperti anjing tadi

dari balik bayangan gedung aku mengendap mendekati mereka berdua, tangan ku sudah siap dengan pisau yang sudah ku bawa dari rumah sedari tadi.

tepat selangkah sebelum pemuda pertama mendekati Olive aku berhasil menikamnya di bagian leher dengan pisauku.
sedangkan pemuda yang seperti anjing tadi melihatku dengan berang.

"kurang ajar.. siapa kau!" ucap pemuda itu mengeluarkan pisau lipatnya.

aku yang selepas menikam kawannya, membersihkan pinggiran bibirku yang terkena cipratan darahnya tadi.

"aku? aku sendiri tidak tau siapa aku" ucapku membalikan badan sembari menutup kepalaku dengan hoodie

"sialan!" pekiknya dengan mengarahkan pisaunya padaku.

dengan mudah aku menghindarinya,. mungkin karena serangannya yang barusan bisa aku hindari, kini serangannya brutal tak karuan. hingga membuatku cukup kewalahan.
Olive melihat kami dengan wajah pucat pasi karena dalam partarungan kali ini ada mayat dan dia sendiri yang menyaksikan aku yang membunuhnya.

berandal ini semakin lama semakin tak karuan serangannya sampai akhirnya bisa mengenai pipi kananku, walau hanya segaris.

"hah! kena kau" ucapnya dengan bangga

"cih" aku mengusap lukaku dengan jempol.

"kini giliranku" ucapku dengan santai

tak butuh waktu lama aku bisa menyayat lehernya hingga hampir terputus hanya dengan pisau dapurku ini.

kini keduanya sudah tergeletak menunggu ajal yang mulai menjemput mereka, darah mengotori hoodie kesayanganku ini, tapi tak aku hiraukan. 
eku menuju Olive yang sedari tadi ketakutan.

"kamu gak papa kan, Olive?" ucapku dengan senyum tak lupa aku mengulurkan tangan kananku.

Tapi Olive masih kenakutan karena tangan ku berlumuran darah.

"oh maaf" aku menyeka darah di tangan kananku.

aku mengulanginya lagi mengulurkan tangan kananku pada Olive.
kini dia menerima uluran tanganku.

"a.. aku.. aku gak papa" ucapnya masih ketakutan melihatku.

"ehehe.. tenang, gak apa kok Live, aku kan anak baik, mana mungkin aku nakalin kamu" ucapku dengan senyuman lebar

tiba tiba

Kruyuukk..

perutku berbunyi di depan Olive yang membuatku malu bukan kepalang. dengan cepat Olive membuka dompetnya dan memebriku beberapa lembar uang"

"ini.. ini untukmu" ucap Olive yang ketakutan 

"ehh kok?" heranku

"Terimakasih sudah menolongku" kemudian Olive lari menjauhiku dan berlari dari gang dan berbelok kearah kanan, ke arah rumahnya.

dengan uang itu aku dapat membeli beberapa makanan tentunya setelah aku mencuri jemuran dari gang tadi untuk membersihkan kejahatan pertamaku.

sepulangnya di rumah aku benar benar sendirian tak ada lagi suara ramah dari mamah, kepala papah masih di atas meja makan dan tubuh mamah masih menggantung bebas di kamarnya.
aku menghabiskan maknaan yang aku beli tadi di ruang makan dan segera bergegas untuk tidur karena besok masih sekolah.

Keesokan harinya sekolah di gegerkan dengan penemuan mayat di Gang 19 tadi malam dan masih belum di temukan pelakunya. aku sangat bersyukur ternyata Olive tidak memberitahu pada siapapun.

Di kelaspun Olive bercerita tentang dirinya semalem di tolong oleh orang yang tidak ia kenal, aku heran mengapa ia tak mengenal diriku malam itu.

Hingga sampai ada kesempatan aku bertanya padanya tarnyata jawabannya di luar dugaanku, mata Olive ternyata minus dan semalem ia kehilangan kacamatanya.

"pantas saja seperti orang asing melihatku" gerutuku dalam hati.

dan setiap pulang sekolah kini aku dan Olive sering pulang bareng dan seperti ada perasaan di antara kita berdua, teman teman kami pun seperti merestui hubungan kami, tak terkecuali Rox yang telah lama menyukai Olive.

Hingga akhirnya aku jadian dengan Olive dengan caraku yang tidak romantis, memang diriku ini tidak bisa bersikap seperti itu, karena menurutuku romantis itu menjijikan. haha.

kisah kami tidak seperti pasangan pada umumnya, awalnya kami menutupinya hingga akhirnya hampir semua orang tahu bahwa aku sudah jadian dengan Olive, seperti tanggapan pada umumnya, ada yang suka ada yang tidak.

Rox menjauhiku karena aku jadian dengan Olive, setiap kami berpapasan Rox selalu membuang wajahnya dariku. aku selalu berbuat baik padanya tapi dia malah seperti itu padaku selalu bersikap acuh, tidak seperti dulu. tapi bagiku bodo amat, karena kehilangan orang yang tak bisa menghargai kita anggap aja seperti angin berlalu, percuma.

semakin hari hubunganku dengan Olive semakin dekat dan serasa dunia milik berdua. sampai hari kelulusan tiba kami selalu bersma sama.
hingga suatu ketika aku memergoki Olive tengah tidur dengan Rox. ya Rox masuk ke rumah Olive yang saat itu tengah sepi karena kedua orang tuanya sedang pergi keluar negeri jadi Olive hanya dengan pembantunya, sialnya hari ini pembantunya sudah pulang kampung, dan yang aku temu adalah Rox tengah berbaring di sebelah Olive.

Rox menatapku seakan penuh kemenangan, sedangkan aku menatapnya dengan pandangan dingin, dia tertawa, aku menutup pintu. 
aku ke dapur mengambil pisau dan beberapa benda tajam lainnya.

"Ehh Ken, sejak kapan kamu ada di sini" ucap Olive dengan wajah tak bersalah

"ush ushh jangan main kasar dong bro.. " ucap Rox

dengan serangan yang tak bisa di hindari Rox aku menikamnya berkali kali dan memutilasinya di depan Olive.
Olive yang saat itu masih berbalut selimut menatapku takut. tubuh Rox aku potong beberapa bagian kecil, mulai dari kepala kedua tangan, isian perut yang aku keluarkan semua dan ku gantikan dengan kapas bantal dan kaki yang aku potong jadi 6 bagian kecil.

setelah puas bermain dengan Rox aku mendekati Olive yang sedari tadi menangis ketakutan melihat kejadian apa yang ada di hadapannya. 

"jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?" aku berbisik lembut di telinga kiri Olive

"maafkan aku.. maaf.." ucapnya dengan nangis tersedu sedu

"aku gak bisa marah sama kamu... aku sayang kamu, Live" ucapku dengan lembut di telinga Olive

"maafkan aku.." ucapnya seperti itu terus padaku

aku mendekatkan wajahku padanya, "I Love You" ucapku di depan bibinya.

kemudian aku menyerahkan pisau yang aku pakai untuk memutilasi Rox ke tangan Olive, Olive masih terus menangis. aku perlahan pergi meninggalkan kamer Olive, aku menutup pintunya, dan menguncinya dari luar. 
sebelum aku benar benar meninggalkan rumah Olive, aku bocorkan beberapa tabung gas di dapurnya dan menumpahkan minyak di sekeliling rumahnya yang kebetulan suasana saat itu sedang sepi.
aku memandang rumah Olive dengan senyuman perih.
aku lihat olive mengintip keluar dari jendela kamarnya, aku melambaikan tangan untuknya.

tentunya dengan menjatuhkan pematik api yang mengarah langsung pada minyak tananh yang sudah aku sebar di sekitar ruamhnya. Dan tak butuh waktu lama rumah itu meledak dalam sekejap.
senyumku tambah melebar ketika kepala Olive terpental dari rumahnya, bergelinding di tengah jalan dan terinjak oleh truk pasir.

0 Response to "Sensitivite"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel