Tamu


28 Februari 2019 adalah hari yang tidak pernah aku lupakan karena itu adalah pengalaman yang tidak akan aku lupakan dalam hidupku. Panggil saja aku Farin, aku mahasiswa semester genap di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Bandung.

“Rin, tanggal 26 kan kita berangkat apa udah hubungi pak Dadangnya?” Tanya kang Jale padaku.

“oh iya kang, maaf. Aku lupa” aku langsung mengambil ponselku dan menghubingi pak Dadang.
Pak Dadang adalah supir khusus dari kampus untuk setiap kegiatan organisasi kami.

“Rin, jangan lupa nanti list barang yang keluar ya sama Olaf” tegur komandan Zey padaku.
Aku merupakan pengurus aktif disalah satu organisasi kampusku yang bergerak di bidang kemanusiaan.

“siap komandan, laksanakan!” ucapku tegas sampai hampir menjatuhkan ponselku.

“eh.. ehh-“ aku berusaha menangkap ponselku yang hampir terjatuh.

“hadeh kamu nih selalu aja semangat begitu” Ucap komandan Zey sambil menepuk pundak kiriku lalu dan berjalan keluar markas.

“apa tadi kata komandan?” Olaf yang tiba-tiba muncul di belakangku

“etdah.. jangan bikin kaget gitu kenapa?” hentakku ke Olaf

“hehe, maaf”

“tadi kata komandan jangan lupa untuk ngelist barang yang keluar untuk kegiatan pemantapan nanti”

“ihh.. kamu kemana aja? Udah aku list nih!” Olaf menyerahkan beberapa lembar ketas padaku.

“hee..?!”

“makanya kalo ada kumpulan tuh hadir”

“heleh biasanya juga gak sesuai sama jadwal” ngelak ku.

“udah ah.. aku mau makan dulu sama Sefy” Olaf langsung meninggalkan ku di depan markas.

Pukul 20:45 aku masuk gudang organisasi untuk mengecek barang-barang yang akan kami gunakan lusa. 20 menit aku mengecek barang-barang sendirian aku merasakan ada sesuatu yang mengawasiku dari depan pintu gudang namun aku bersikap biasa saja karena aku sudah terbiasa dengan hal-hal semacem itu.

Pukul 22:15 aku berpamitan pada anak-anak markas untuk pulang dan mengambil barangku untuk keberangkatan lusa. Selama perjalanan aku merasakan udara Bandung di malam hari, sangat dingin hingga menusuk tulang namun damai akibat lampu-lampu kendaraan yang berlalu lalang tanpa henti di jembatan Pasteur.

“assalamualaikum” ucapku ketika masuk ke kamarku.
Walaupun aku tau tidak akan ada yang akan menjawabnya namun itu sudah jadi kebiasaan diriku ketika memasuki suatu ruangan.

Menaruh tas, melepas sepatu dan jaket lalu melanjutkan cerpen yang akan aku rilis di blog pribadiku.

“huft.. lusa gimana ya?” aku bergumam sendiri sembari bersandar tangan dan menatap lampu kamarku.

Ku tenggak air mineral di sebelah laptopku untuk menjernihkan pikiranku, namun justru kantuk yang datang. Aku bertahan, namun aku kalah.

Ku beranjak ke kasurku dan kutarik selimut sebahu untuk menghangatkan tubuhku. Denting jam masih ku dengar beberapa saat sampai akhirnya aku berada di alam lain dengan pulas.

Neeettt Neeett Neett

Suara alarm dari ponselku berbunyi. Tepat pukul 04:20 Aku keluar untuk buang air kecil dan berwudhu untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim. Selepas shalat aku langsung mengepak barang yang dibutuhkan kedalam carrier untuk keberangkatan besok.

“Rin.. sudah bangun?” tanya ibu kost padaku dari balik pintu kamar.

“sudah bu” balasku. Namun tidak ada jawaban balik dari ibu kost seperti biasanya.
Mungkin ibu kost sudah pergi setelah bertanya padaku.

Tanpa banyak buang waktu lagi aku langsung mandi dan bergegas untuk sarapan di tempat biasa.

“bang, ini ada titipan dari ibu kost” Ucap Aris padaku sembari memberikan bungkusan paket padaku

“eh apaan nih” aku berusaha mendekat ke Aris setelah aku menurunkan standar motorku.

“bilangnya sih kaos gitu”

“oh iyaa, mungkin paketku nih” aku mengambil paketku

“kok ngasihin ke kamu sih Ris?”

“iya kan Abang udah 2 hari gak pulang ke kost, nah 2 hari yang lalu juga ibu kost nitipin nih paket ke Aris katanya sampein ke Farin ibu mau ke Bogor, katanya”

“iya deh iya-“

“maksih ya” lanjutku sambil memasang helm dan tancap gas menuju markas.

Aku menikmati suasana Bandung di pagi hari sebelum sangat macet di jalur Setiabudhi ini sampai aku teringat ucapan Aris tentang ibu kost.

“2 hari yang lalu ini paket nyampe ke tangan Aris dari ibu kost dan 2 hari yang lalu juga ibu kost pergi ke Bogor-” gumamku sendiri.

“2 hari yang lalu..” aku mulai mengerutkan dahiku sepanjang jalan

“loh, jadi yang tadi nanyain aku!?” aku langsung menepi di pinggir jalan dan minum banyak banyak air dari botol tumblrku.

Setelah tenang, aku langsung melanjutkan perjalananku ke markas yang menempuh jarak sekitar 20 menit dari kostku.

“Rin, kok pucet?” tanya Noki padaku

“eh.. emm anu, enggak” aku mengelak berusaha tidak memikirkan hal yang barusan terjadi padaku.

“aneh..” ucapnya

“ehehe..”

“eh, emang aneh sih kamu mah” balas Noki menuju kang Dinur untuk mencoba mikropon apakah berfungsi atau tidak.

Aku langsung masuk ke markas, menaruh carrierku dan menuju para panitia yang lain untuk siap-siap upacara pembukaan kegiatan pemantapan kami. Aku berdiri disebelah kang Dinur.

“padahal rasanya baru kemaren angkatanmu ya,Rin” bisik Kang Dinur padaku mengejek

“hehe. Iya kang gak terasa ya, adikmu nambah 1 angkatan” balasku mengejek.

“hahaha” kami tertawa kecil bersama dibelakang barisan para panitia.
40 menit upaca pembukaan berlangsung dengan khidmat, semua berjalan sesuai dengan seharusnya apa yang panitia rencanakan.

Selepas upacara pembukaan, semua peserta mulai dikarantina dan terus diberikan materi-materi agar otak mereka selalu fresh dengan materi yang sudah para panitia berikan kemarin-kemarin hingga larut malam. Pukul 22:00 seluruh peserta sudah tidur di tempat yang telah disediakan. Para panitia melakukan briefing untuk segala kegiatan besok dengan tugas masing-masing termasuk diriku yang sibuk dengan ponselku untuk terus follow up pak supir yang akan memberangkatkan kami keesokan hari.

Kamis pukul 7 pagi kami berangkat dari markas menuju lapangan tempat pemantapan. Aku bersama komandan Zey berangkat paling akhir karena ada beberapa hal yang harus kita selesaikan dengan organisasi sebelah. Setelah selesai, tepat pukul 14:00 aku dan komandan berangkat menyusul peserta dan panitia yang lain dilapangan.

Perjalanan menempuh waktu 4jam. Tepat pukul 18:15 aku dan komandan bersatu dengan para panitia yang lain untuk mendidik para peserta.

“malam ini yang piket Gegep, Epi, Noki, Farji, sama Farin ya” Ucap kang Jale selaku komandan lapangan

“kang, maaf kan malem ini Farin, kang Dinur sama kang Ican mau jemput tamu” aku mengucapkannya dengan tegas.

“oh iya” raut wajah kang Jale sedikit berubah.

“yaudah deh di ganti sama kang Dihan aja deh kalo gitu-“

“gimana kang Dihan?” lanjut kang Jale menimpal kata-katanya sendiri.

“siap!” balas kang Dihan dengan sangat tegas.

Setelah briefing sore kita kembali pada tugas kita masing-masing.

Saat sedang bersiap buat penjemputan tamu dari kampus tetangga, kang Jale mendekatiku.

“Rin, makan seblak yuk”

“he? Tapi aku lagi siap-siap”

“kamu yakin jemputnya nanti sama mereka?”

“iya atuh kang, kebetulan yang lagi free kan mereka, aku juga gk mau ganggu panitia yang lagi sibuk, apa lagi yang lagi sok sibuk” sindirku pada beberapa panitia yang kerjaannya hanya menunggu makanan dari peserta dan panitia terus.
“mau berangkat kapan emang?”

“kami niatnya berangkat setelah isya kang”

“oke deh kalo gitu, akang pesen ke kalian hati-hati aja nanti di jalannya”

“siap kang!” jawabku dengan hormat.

Malampun tiba setelah shalat isya dan makan malam aku, kang Dinur dan kang Ican bersiap untuk keberangkatan. Kami menjemput tamu dengan berjalan kaki melewati gelap dan dinginnya gunung malam hari.

Demi menghindari pikiran yang tidak-tidak selama perjalanan, kang Dinur memutar lagu indie dari ponselnya untuk menemani perjalan kami yang menempuh jarak 5,6 km melalui medan naik turun dan jalanan terjal khas pegunungan. Kami bertigapun mengikuti alunan lagu dari ponsel kang Dinur dengan diselangi dengan canda tawa kami.

Sampai di suatu belokan kami tertahan karena ada hal yeng cukup mengganggu kami.

“Nur..  Rin.. tahan” ucap kang Ican sambil menahan perjalan kami dari depan.

“he? Kenapa kang?” tanyaku bingung

“kenapa can?” kang Dinur menahan langkahnya di depanku sembari mematikan lagu di ponselnya.

“itu” kang Ican lagsung menyorotkan headlampnya pada sesuatu di tepi jalan.

Sebuah karung putih yang diikatkan pada kayu sebagai petunjuk jalan pada panitia dan peserta yang melakukan  pendakian ke lokasi pemantapan.

“ya elah, can-“

“itu mah karung penanda jalan” tegur kang Dinur dengan mengelus kepala kang Ican.

“tapi tadi bergerak loh” ucap kang Ican bergidik

“udahlah kang, Cuma karung kok” aku turut menenangkan kang Ican yang memucat

“yasudah yuk lanjut jalannya, biar cepet sampai dilokasi pertemuan” ucap kang Dinur menengahi.

Kemudian kami bertiga berjalan lagi tapi kali ini dengan kang Dinur yang berada di depan diikuti dengan kang Ican lalu aku di paling belakang dan kang Dinur kembali memutar lagu dari ponselnya lagi.

“Rin, jangan sekali-kali nengok kebelakang ya” bisik kang Ican padaku.

“kenapa kang?” tanyaku heran dan mulai bergidik

Kang Ican hanya menepis ucapanku dengan ayunan tangannya padaku. Aku mengangguk paham. Tapi rasa penasaranku makin menumpuk dibenakku.

Perlahan aku menengok ke belakang, namun saaat belum terlalu menengok aku di panggil kang Dinur.

“Rin”

“eh iya kang?-” aku langsung memalingkan pandanganku kedepan lagi.

“kenapa?” lanjutku.

“Kalau capek ngomong aja, nanti kita berhenti sebentar-“

“sudahlah Nur!” ucap kang Ican tegas.

“eh.. gak apa kok kang, aku masih kuat” jawabku gugup karena aku sendiri mulai takut akan suasana disini.

“oke deh..” jawab kang Dinur sambil mengacungkan jempolnya.

Perjalananpun terus kami lanjutkan sampai aku sendiri tidak menyadari bahwa kami sudah berjalan cukup lama.

“kang Dinur” ucapku

“ya Rin. Kenapa, mau istirahat dulu?” sahut kang Dinur sambil terus berjalan.

“sakit perut, eh” rintihku karena sepatuku sudah kemasukan air dari tadi.

Kemudian kang Dinur menahan langkahnya di susul dengan kang Ican di depanku. Kemudian kang Dinur mendekat padaku.

“kamu kenapa?”

“mau buang air besar, sakit perut nih” ucapku sambil memegang perutku.

“aduh, kamu nih.”

“tahan dikit lagi dong Rin” ucap kang Ican memelas

“iya deh, mungkin nanti ditempat pertemuan ada wc. Nanti dikeluarin disitu aja deh” ucapku yang mulai tidak karuan disertai harapan.

“nah gitu dong, kuat ya” ucap kang Ican padaku sumringah.

Kamipun melanjutkan perjalanan setelah drama kecil tadi, namun baru beberapa meter kami bertemu dengan seorang kakek tua renta dengan hanya memakai sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya saja dan membawa tongkat kayu untuk menopang tubuhnya.

“assalamualaikum, permisi” ucap kang dinur yang diikuti kang Ican.

Aku yang terheran-heran kemudian mengikuti ucapaan mereka. Kakek itupun melewati kami dengan perlahan.

“hati-hati nanti kalau bertemu dengan anak-anak didepan sana” sama-samar kakek itu berbisik pada kami.

Tapi kami berjalan terus tanpa menghiraukan ucapan kakek tersebut.

Sekitar 30 menitan kami berjalan dan tidak terjadi apa-apa pada kami seperti yang diucapkan kakek tersebut. Kami mulai memsauki perkampungan warga, ada beberapa warga yang masih memancing dimalam dingin ini, kaminpun menyapa mereka da mereka langsung menyapa balik kami.

“Alhamdulillah sampe juga” ucap kang Ican merebahkan badannya disaung pertemuan kita.
Akupun langsung menaruh ranselku yang berisi stok makanan untuk kami.  Begitupun kang Dinur yang angsung menyenderkan tubuhnya disalah satu tiang saung sembari meluruskan kakinya.

“kang.. temenin cari WC” lirihku pada kang Dinur.

“oh iya, maafin hehehe” jawab kang Dinur.
Kemudian kami berdua meninggalkan kang Ican sendiri di saung untuk mencari WC disekitar sini.

“Heh! Ngapain kalian?!” hentak seorang pria tambun pada kami.

“Lagi nyari WC kang” jawab kang Dinur dengan tenang.

Pria itu celingukan lalu perlahan mendekat ke kami.

“heh, jangan disini. Kalo kalian mau istirahat atau sekedar buang air didepan sana ada mushola warga” ucap pria tambun itu.

“oh iya pak, Terimakasih” setelah kang Dinur mengucapkan itu, kami langsung bergegas menuju kang  Ican yang sedang beristirahat

“Can! Can! Bangun Can!” ucap kang Dinur panik

“ehmm.. kenapa sih?” kang Ican berontak kecil
Tidak seperti biasanya kang Dinur bertingkah seperti itu.

“pindah-“

“hayo kita pindah” ucap kang Dinur sambil membereskan barang-barang yang di taruh sebelumnya.

“kang” ucapku
Tapi kang Dinur tak menjawabku dan terus membereskan barang-barang yang berserakan di luar tas.

“Kang Dinur!” kesalku karena di kacangi

“Tadi bukan orang!” hentak kang Dinur padaku
Sontak aku terdiam membeku diposisiku, aku sama sekali tidak bisa merasakan tubuhku sesaat.

“serius?” gerutuku pucat.

“kan sudah aku bilang dari tadi” ucap kang Ican lirih
Kami bertigapun langsung pindah lokasi dari saung tersebut menuju pemukiman warga sambil berharap benar-benar ada mushola disana.

Sekitar 10 menitan kami bertiga mencari mushola dan akhirnya kita menemukan mushola, lokasinya berada di tepian pemukiman dan mepet dengan hutan.

“alhamdulillah untung benar ada mushola disni” lega kita bertiga.
Aku yang tak tahan ingin buang air langsung mencari toilet dari samping hingga ke belakangnya. 

Sampai aku menyadari satu hal dan langsung masuk kedalam mushola dan bergabung dengan kang Dinur dan kang Ican.

“kok cepet?” tanya kang Ican padaku

“kuburan” bisiku perlahan
Dan kami bertiga terdiam sesaat hingga ponselku berdering.

“oh tamunya” aku menunjukan layar diponselku tanda panggilan masuk dari tamu yang kami maksud.

Aku mengangkat telfonnya, menjawab dimana posisi kami. 5 menit kemudian kita bertemu karena para tamu menggunakan mobil ke posisi kami. Tamu berjumlah 4 orang 3 pria dan 1 wanita.

Saat itu kami sempat berdebat kapan kita melanjutkan perjalanan karena dari pemukiman ini hingga ke lokasi pemantapan hanya bisa di tempuh berjalan kaki.

Mengingat kejadian demi kejadian yang kami bertiga alami sebelumnya, maka kang Dinur mengusulkan untuk melanjutkannya esok pagi saja sebelum subuh, dikhawatirkan jika kita memaksakan perjalanan di tengah malam seperti ini nantinya akan terjadi hal yang tidak kami inginkan dan para tamupun menyetujuinya.

Akhirnya untuk sementara ini kita bertujuh bermalam dimushola warga setempat sembari berharap ketika berangkat nanti tidak terjadi hal-hal yang tidak kami inginkan.

“bangun bangun” Walley membangunkan kami semua dari tidur

“kenapa sih? berisik ah!” celetuk Kalbo yang nyawanya belu terkumpul

“sudah jam 03:20 nih, hayu katanya lanjut perjalanan” Semangat Walley

“bentar ah, kumpulin nyawa dulu” jawab Puch satu-satunya wanita di regu kami.

Aku yang sedari tadi membuka mata saat pertama kali Walley membangunkan kami, merasakan hawa yang makin dingin disekitaran kami, namun aku tahan sekuatku.
03:30 semua sudah bangun dan sudah bersiap-siap untuk berangkat. Namun Pesak meminta izin untuk buang air kecil dahulu, 5 menit sudah kami menunggunya. Setelah selesai menunggu Pesak, kita melanjutkan perjalan kami menuju lokasi pemantapan.

Kami mengatur posisi sedemikian rupa agar si Puch terlindungi dari berbagai sisi karena dia satu-satunya wanita diregu kami, aku berada di posisi ke-6 dan di posisi ke-7 adalah si Kalbo. Selama perjalanan kita saling mengobrol tentang kampus satu sama lain, bercerita hal-hal dari yang penting hingga yang tidak penting.

“berapa lama lagi sih? Jauh bangeett-“

“lelah aku tuh” keluh si Puch

“semangat atuh semangat” supportku.

“yasudah, kita istirahat saja dulu disini” ucap kang Dinur.

Kamipun beristirahat sejenak disini, melepaskan tas masing-masing dan meluruskan kaki kami. Aku mengeluarkan snack dan air mineral dari dalam tasku, membagikan pada anggota regu dengan sama rata.

“gimana nih perjalanannya?-”

“mantap gak?” kang Dinur membuka percakapan agar selama perjalanan tidak sepi

“gila, medannya gak wajar ini sih” sahut Walley

“lemah ah, aku pernah muncak gunung medannya malah lebih dari ini” balas Kalbo menyeleneh

“huh, sombongnya” sindir Puch

“hahaha” aku kang Ican dan kang Dinur tertawa bersama melihat tingkah mereka

“hayu jalan lagi” tiba-tiba terdengar suara gadis meminta untuk melanjutkan

“hayu lah”

“yokk berangkat”
Semua berdiri bersama, membersihkan debu dari celana dan mengangkat ransel dan tas untuk melanjutkan perjalanan. Kamipun melanjutkan perjalanan beriringan dengan formasi seperti tadi. 

Namun aku bingung kenapa Kalbo jadi sering berbicara dibelakang padahal kita bertujuh sudah dalam formasi yang sama seperti berangkat.

Jam sudah menunjukan pukul  04:55 perjalanan sudah hampir selesai dan selama perjalanan itupun Kalbo berbicara dan tertawa asik sendiri. Sampai akhirnya kami tiba di camp panitia pemantapan dan disambut oleh beberapa panitia yang sedang memasak.

Kami bertujuh langsung beristirahat dan bercengkrama ringan dengan komandan di pagi hari yang dingin ini. Sampai akhirnya Kang Dinur bertanya padaku.

“Farin asik banget ya cerita-cerita sama Kalbo di belakang”

“haha iya tuh, mana gak berhenti-berhenti pula mereka berdua ngobrol terus”

“wah masa sih?” raut wajah komandan terlihat penasaran dan bersemangat

“Iya loh kang, mereka berdua bawel banget makanya aku sebagai cewe aja heran kok mereka berdua bawel banget melebihi cewe, haha” sambung si Puch menertawai kami

“padahal Farin pendiem banget loh, jarang dia bisa ngobrol selama itu sama orang baru” Komandan menjelaskan pada kami

“eh tunggu dulu-“ sela ku pada perbincangan kami

“bukan aku yang berbicara dengan kalbo loh, aku diem aja selama perjalanan dengerin dia ngobrol sendiri di belakangku” terangku

Semua terdiam mendengar penjelasanku.

“emang kamu ngobrol sama siapa tadi, Bo?” tanya Pesak tajam

“sama Devi” jawab Kalbo santai

“Devi!?” sontak kami heran

“iya.. parah 1 regu tapi gak tau anggotanya” remeh Kalbo pada kami
Pesak mendekat pada Kalbo seraya berbisik

“Bo, mending istighfar deh sekarang. Kita tadi Cuma 7 orang Bo” bisik Pesak perlahan

“jadi orang  aku ajak ngobrol tadi bukan-“
Pesak langsung menepuk pundak kanan Kalbo bermaksud untuk menenangkan. Semua yang ada di camp terdiam bahkan aku sendiri tidak merasakan keberadaan angin di dalam camp ini.

0 Response to "Tamu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel