Pada Waktunya


Inilah kisahku
Pendakian pertamaku.
Bersama dia teman dekat terbaikku. Paw !
Awalnya aku hanya iseng-iseng saja mengajaknya untuk muncak. Tanpa dipikir panjang olehnya, dia menerima dengan mudah tawaranku.

“mau kemana, Cikuray? Guntur? Atau..”

“Gede!” balasnya dengan semangat
Aku membalasnya dengan senyum

“ya? Ya!?” semnagatnya

“kenapa mau ke Gede?”

“karena aku mau di hari ulangtahunku, aku mau muncak kesana” balasnya simpel.

“hm.. hayulah”

“yeaahh” ucapnya dengan penuh semangat

Keesokan harinyapun kami disibukan dengans segala aktifitas yang berhubungan dengan pendakian. Mulai dari pendaftarannya secara online hingga barang-barang bawaan yang harus kami bawa nanti.

“aku mau ajak 1 temen lagi nih gak apa kan?” tanyaku

“boleh banget, bawa aja yang banyak kalo bisa haha”

“kamu sendiri bawa temen berapa?”

“aku mau bawa 2 sih”

“cewe semua tuh?” Tanyaku heran

“semuanya cowo”

“eh?! Harus ada cewe nyalah temenin kamu” kagetku

“gak apa kali aku mah santai sama cowo” jawabnya santai

“gak.. kamu harus ajak temen cewe”

“gak ada.. kamu aja yang ajak temen cewemu”

“mana ada temen cewe aku mau diajak muncak” sebuah alasan karena dia satu-satunya temen cewe 
yang paling dekat denganku

“pokoknya tenang aja, aku bisa jaga diri kok”

Aku terdiam sejenak

“kalo ada apa-apa bilang saja padaku”

Dia membalasku dengan sebuah senyuman lebar via chat.

Hari yang kita tunggu-tunggupun akhirnya tiba setelah kita janjian dan merencanakan semuanya hanya lewat dunia maya. Yap, kita belum pernah bertemu sebelumnya tapi karena suatu alasan kita bisa jadi sedekat ini.

Aku dan Ridha sudah bersiap dilokasi pertemuan kami. Akhirnya yang muncak adalah 4 orang termasuk aku dan Paw.
15 menit berselang, datanglah Paw dan 1 teman lelakinya, Najwan namanya.
Kamipun bergegas berangkat pukul 19:30 menuju Cianjur.

Bandung-Cianjur kami tepuh dalam waktu 3 setengah jam. Sebelum tiba di titik pendakian, kami sempatkan untuk makan malam di pinggir jalan sambil beristirahat sejenak.

“Iz, anterin aku ke wc” pinta Paw memelas

“eh, iya sekalian beli gas Riz” sontak Ridha teringat bahwa kami kekurangan gas untuk nanti.

“oke” jawabku singkat

Kemudian aku mengantarkan Paw ke minimarket terdekat karena warung tempat kami makan tadi tidak menyediakan toilet umum.

“tungguin ya! Haha”

“gak!” jawabku namun Paw malah menjulurkan lidahnya padaku.

Sembari menunggunya selesai buang air kecil, aku bertanya pada penjaga minimarket perihal letak gas yang aku maksudkan dan ternyata gas sedang kosong.

Kamudian aku keluar dan duduk di kursi depan minimarket tersebut.
Kurang lebih 10 menit aku menunggu Paw keluar akhirnya Paw keluar dengan keadaan lesu.

“eh kok lesu?” tanyaku bingung

“aku gak enak ngomongnya” dia menunduk

“emang kenapa? Kamu gak di apa-apain kan di belakang?” ejekku

“aku..” dia menurunkan nadanya

“aku apa?” tanyaku geregetan

“aku haid” jawabnya singkat.

Kaget? Pasti. Tapi aku berusaha bersikap tenang dan berfikir positif.

“yasudah kalo gitu”

“eh kok jawabnya gitu?”

“itu tandanya kamu cewe normal..”

“ih kamu..” Akupun di pukul manja olehnya

“ahaha”

kamipun kembali menuju tempat makan tadi

“Riz mana gasnya?” tanya Ridha sambil meminta

“gak ada ey disitu, udah habis” jelasku

“yah kita kurang gas 1 lagi”

“yasudah kita cari sambil menuju Cibodas, siapa tau saja ada yang jual gas itu” saran dari Najwan

“boleh deh, sambil aku beli sesuatu” ucap Paw

Kami para cowo saling beradu pandang dan melontarkan senyum kecil tanda mengerti

“eh kalian kenapa?” tanya Paw pada kami

“gak papa kok” kami bertiga serempak

“huh”

Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami yang tersisa beberapa menit sebelum ke basecamp Cibodas sambil mencari gas pada tiap minimarket yang masih buka.

Sesampainya di basecamp Cibodas, kami memarkirkan motor kami dan kami cukup terkejut karena harganya yang cukup tinggi.

“pantas disebut ‘gunung mewah’” gumamku

Kemudian kami melakukan diskusi kecil untuk membahas pengeluaran hari ini lalu Ridha 
mengajukan dirinya untuk tawar menawar dengan supir mobil carter yang pada saat itu memang sudah sangat malam.

Sesuai kesepakatan kami harus mengeluarkan kocek sebesar Rp.110.000,- untuk mengcarter mobil dan kebetulan juga Ridha sudah mendapatkan gas tambahan yang kurang.

Akhirnya kami berempat menuju tempat simaksi via Putri menggunakan mobil carteran ini yang menempuh waktu cukup jauh. Selama perjalan, aku dan Paw berbincang-bincang ringan dan saling menertawakan satu sama lain sedangkan Ridha dan Najwan tertidur sepanjang jalan akibat kelelahan menyetir.

Setibanya di Putri, kami langsung menyewa tempat peristirahatan yang harganya tidak terlalu membebani kantong kami. Letaknya di lantai 3, cukup untuk latihan kaki menyambut esok hari.

Ruangannya cukup besar untuk kami yang hanya berempat saja. Paw dan Najwan langsung mencharger ponselnya.

Sebelum tidur kami saling bercengkrama satu sama lain seperti pendaki dan saling berkenalan karena Ridha hanya baru kenal diriku saat itu.

1 jam kemudian kami mulai bersiap-siap untuk tidur dan menyimpan tenaga buat esok hari.

Aku tidak bisa tidur nyenyak saat itu, entah karena aku sudah bertemu dengan Paw ataupun ini pengalaman pertamaku mendaki.

Dinginnya angin malam membuatku menarik sarung tinggi-tinggi agar dapat menutupi seluruh bagian tubuhku.

Ku lihat Paw tidur sambil duduk bersila, aku berbisik padanya agar dia membenarkan posisi tidurnya, tapi dia menggelengkan kepalanya tanda dia baik-baik saja akupun mengerti dan melanjutkan 
tidurku.

Subuhpun berkumandang, aku keluar kamar untuk mengambil air wudhu, Paw terbangun.

“mau kemana?”

“boker” jawabku mengejek

“yang bener iih”

“haha, iyaa mau wudhu. Sudah subuh” jawabku langsung ke toilet.

Setelah wudhu, aku kembali ke kamar dan melihat Paw kembali tidur. Aku berusaha membangunkan Ridha dan Najwan untuk shalat. Namun sepertinya mereka masih kelelahan dan masih lelap dalam tidurnya, aku melaksanakan shalat sendiri kemudian aku berusaha kembali membangunkan Ridha dan Najwan dan hasilnya masih nihil. Akupun mencharger ponselku agar nanti pagi aku bisa mendokumentasikan perjalanan kami.

Paginya setelah bangun semua, kami bersiap-siap untuk simaksi dan tes kesehatan. Sebelum tes kesehatan kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu  agar kuat mendaki nanti.
Tiba giliranku untuk tes kesehatan, akupun di paangi alat pendeteksi nadi dan semua baik-baik saja

“apa yang kamu rasakan saat ini?” tanya dokter

“aku rasa aku terlalu bersemangat untuk muncak hari ini!” jawabku semangat.
Teman-temanku yang lain tertawa akibat jawabanku yang terlihat seperti anak-anak.

Perjalanan kami di mulai pukul 08:30 WIB.

Di tempat simaksi, peralatan mandi kami di ambil oleh penjaga karena tidak boleh membawa alat mandi jenis apapun, kamudian kami melanjutkan perjalanan kami menuju puncak.
Perjalanan melewati kebun milih warga sekitar, kami pun menyapa warga sekitar yang sedang memanen hasil kebunnya.

Paw meminta kami untuk istirahat sejenak sambil membuka bungkus permennya, menawarkan padaku dan yang lainnya. Tak jarang ada pendaki yang turunpun ditawari permen olehnya.
5 menit kami berhenti, kemudian kami melanjutka pendakian lagi hingga kami mendapati suatu bangunan kamudian kami beristirahat lagi untuk minum dan meluruskan kaki kami.

“ini post 1 ya?” tanyaku

“bayangan nih sepertinya” sahut Najwan

“pos 1 aja sih, aku udah capek” keluh Paw

“hahaha baru jalan beberapa meter” sambul Najwan

“hayu ah lanjut” celetuk Ridha

“gimana Paw, Wan?” tanyaku

“hayu!”ucap mereka serentak
Akupun tersenyum melihat sikap mereka.

Kami melanjutkan perjalan hingga beberapa jam kedepan dengan berbagai waktu berhenti dan beristirahat di tiap pos.

Kamipun berkenalan dengan orang baru sepanjang jalan dari berbagai kota dan daerah juga dengan karakter mereka masing-masing.

Dalam hati aku berkata “nikmati dulu moment-moment ini, karena belum tentu nanti bisa menikmati omen seperti ini” sebuah kalimat yang membuatku menikmati dan terus hidup sepanjang hari.tepat pukul 17:00 kami tiba di puncak Surya Kencana, sebuah lapangan yang luas dan menenangkan dan terasa hangat karena dipenuhi dengan sinar matahari..

“hangat..” ucap Paw sambil duduk disebuah batu

“berjemur dulu lah sebentar, barangkali kamu mau foto-foto, Iz” ucap Ridha padaku.

“yap!” jawabku dengan mata berbinar karena baru pertama kalinya aku kesini.
Sebuah lapangan lupas yang sangat nyaman bagiku.

Tak lama, kami disambut oleh kabut yang sangat tebal. Anginnya kencang sekali sehingga aku harus menggunakan buff ku yang sedari tadi aku pasang dileherku.

Melihat kesempatan ini aku mengabadikan momen sepanjang berjalan di Surya Kencana ini dengan ponselku.

Kami membangun tenda di tepian Surya Kencana dan segera memasak kebutuhan makanan untuk malam ini.

Tepat waktu maghrib, segerombolan remaja membangun tenda tepat desebelah tenda kami.

“bang.. kita bangun tenda disini ya!” ucap seorang remaja laki-laki pada kami

“iya bang silahkan” sahut Ridha
Kamipun melanjutkan makan malam kami ditenda karena cuaca di luar begitu dingin desertai angin kencang.

Selepas makan malam kami bercengkrama sembari menggenakan Lsleeping bag masing masing karena resleting tenda kami tida bisa di tutup dan hanya bagian jaring-jaringnya saja yang tertutup mengakibatkan angin bisa masuk lewat pintu depan begitu saja.

Aku teringat bahwa Najwa adalah lulusan pesanteren terbaik dan ingin melanjutkan kuliahnya ke Al-Azhar di Mersir, degan sedikit keisenganku, aku bertanya banyak hal tentang keagamaan dengannya dan dia menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang aku lontarkan dengan bahasanya dan dalil yang menurutku bisa terserap dengan mudah, karena aku rasa apa salahnya bertanya pada orang yang lebih mengetahui sesuatu hal yang tidak aku ketahui dan masalah perbedaan usia aku tidak terlalu memperdulikannya sal jawabannya masuk akal. Namun terkadang Najwan sendiri sempat ragu untuk menjawabnya karena dia masih belum paham betul untuka apa yang akan dijawabnya.

“bang, mau daun hijau gak nih?” teriak seorang remaja laki-laki dari  tenda sebelah
Aku yang tau maksud dari remaja itu adalah ganja aku berteriak menjawabnya dengan candaan.

“gak level gua sama gituan!”

“emang maksud dia apaan, Iz?” tanya Paw padaku

“ganja” jawabku santai

“etdah bang” jawab Najwan yag saat itu kaget

“biasalah, Fariz mah suka sama yang gituan” celetuk Ridha sembari membetulkan  sleeping bagnya.
Tak lama remaja tadi berteriak menawarkan sesuatu lagi pada kami

“bang mau Iceland gak? Dingin nih diluar”
Dan lagi lagi aku yang menjawabnya

“kita sukanya Vodka bre, makasih!”

“wah keras juga Lu bang!”

“keras mah batu!” Ridha manyambung teriakan kami

Sontak kamipun tertawa bersama antar tenda dimalam itu.

Kemudian disusul dengan lagu jenis EDM dari tenda mereka yang cukup mengganggu kami.
Aku memancing Najwan untuk bercerita tentang hari kiamat, Najwan mengerti maksudku, dia bercerita dengan suara agak keras dari tenda kami sehingga mungkin cukup terdengar hingga keluar tenda.

Suara musik EDM itu terhenti dan berubah menjadi lantunan ayat suci Al-Quran dari tenda mereka, aku dan Najwan saling berpandangan dan tertawa geli akibatnya.
Bahkan hingga menjelang kami tertidur, mereka tidak menyuarakan musik jenis EDM lagi. Kamipun bisa tidur tenang malam itu.

Baru saja aku ingin tidur, aku merasakan ada yang aneh dari luar tenda, bukan tentang desiran suara anginnya, tapi sesuatu yang besar bergerak, ntah apapun itu aku harap tidak mengganggu kami.

Pagi harinya setelah shalat subuh aku dan Ridha memasak sarapan untuk kami agar kuar melanjutkan ke puncak Gunung Gede ini.
Aku dan Ridha memasak Mie, syur sop dan sosis untuk menu sarapan kami hari ini.

Kamipun makan dengan lahapnya walaupun rasanya kurang karuan tapi mau tidak mau kami harus makan ini karena suhu disini sangat dingin dan untuk mengisi tenaga juga.
Setelah makan dan membereskan tenda, kami melanjutkan menuju puncak yang memakan waktu sekitar 90 menit.

Di tengah perjalanan kami bertemu lagi dengan gerombolan kemarin sore yang sangat ribut

“eh, kita ketemu lagi” ejekku pada salah seorang diantaranya

“eh iya ketemu lagi”

“cape yak mas? Bentar lagi kok”

“iya bentar lagi sebuah kalimat bullshit” ucap pemuda itu dengan tampak kelelahan
Aku sedikit menertawainya dan kembali melanjutkan perjalanan.

Paw meminta waktu untuk berhenti sejenak karena tali sepatunya terlepas, sekaligus untuk minum.
Namun tak beberapa lama berjalan.

Kami tiba di puncak Gunung Gede, perasaanku tak karuan saat itu. Senang, sedih bercampur aduk ketika aku tiba dipuncak. Seperti pendaki pemua pada umumnya, aku mengabadikan nya melalui ponselku, berfoto ria dan merekam semua apa yang di puncak.

Kami berempat memilih spot untuk menaruh carrier kami dan beristirahat sejenak di puncak.

Kami menyalakan kompor portabel dan memasak air, kami minum dan makan melon yang tadi diberikan para remaja tenda sebelah tadi pagi bersama di puncak.

“Paw” aku mengulurkan melon padanya
Namun Paw menggelengkan kepalanya untuk itu.

“gak suka?”

“iya, aneh aja gitu rasa sama bentuknya” terang Paw

“yaelah, enak tau manis” jawabku santai namun aku teringat sesuatu

“gak suka karena aneh atau yang rasanya manis terus kamu merasa tersaingi?” gombalku

“ih apaan sih” jawabnya malu-malu sambil menepuk lembut pundakku.

“hahaha” tawaku lepas disitu
Ridha masih disibukan dengan masak air dan menghangatkan melonnnya sedangkan Najwan berusaha membuka bungkus roti yang terlihat susah sekali untuk di buka, dan ketika Najwan berhasil membukanya

Wuuupp

Rotinya lompat kedepan, aku dan Paw yang melihat itu langsung tertawa bersama melihat kejadian itu, sedangkan Najwan buru-buru mengambil roti itu diantara tumbuhan gunung dan dengan malu-malu memakannya.

Najwan dan Ridha pergi sebentar buat berfoto-foto sedangkan aku dan Paw menikmati indahnya atmosfer dari atas GunungGede ini sembari curhat kecilku pada Paw.

Aku utarakan semua yang aku rasakan ketika aku pertama kali hingga kini ku bersamanya, aku merasakan lebih banyak senangnya dan suatu perasaan ingin melindungi sahabatku yang satu ini, perasaan gemas kadang menyelimutiku ketika dia tersenyum padaku tanpa alasan yang jelas. “Dia sahabat terbaikku” ucapku dalam hati sembari tersenyum memandang lautan awan didepanku.

“heh, senyum-senyum sendiri” tegur Paw padaku

“iya nih, lagi menikmati suasananya” jawabku setengah berbohong.
Kemudian Ridha dan Najwan datang menghampiri kami.

Pukul 10:40 kami bersiap untuk turun dari puncak.

“hayu ah barangkali sampe bawah kemaleman” ucap Ridha yang terlihat terburu-buru ingin turun.
Setelah semua perbekalan dan alat masak sudah kembali ke carrier masing-masing, kamipun turun dari puncak dengan perasaan haru.

Sepanjang perjalanan turun, 1 hal yang selalu aku rasakan.
Hampa.

“Kenapa aku bisa merasakan seperti itu?” gumamku dalam hati

“hey kok melamun sih?” tanya Paw saat kami berada di post 4 saat mau turun.

“e-eh iya tadi mikirin puncak terus”

“halah dasar pendaki pemula” cetus Ridha

“ehehe” jawabku terkekeh.

Perjalanan turun terasa sangat cepat bagiku entah karena jalannya yang memang tidak terlalu berat karena landai atau memang jika turun pasti cepat. (?).

Tak lama kami tiba di kawasan Kandang Badak, aku sempat berfikir kandang Badak itu seperti tempat penangkaran badak ternyata hanya sebuah tempat camping saja dengan bangunan tidak terurus di sisinya yang dijadikan mushola bagi para pendaki.

Sempat beristirahat beberapa saat disana, kami saling bertukar cerita dengan pendaki lainnya. Bahkan ada seorang bapak yang gagal mendaki karena istrinya melahirkan. Ada pula yang tendanya rubuh dan saat malam hari, mereka tidur dalam keadaan duduk. Kami menertawakan hal-hal konyol itu bersama disana.

Kami berempat melanjutkan perjalanan turun kami, melewati ngerinya tanjakan setan yang ketika naik ataupun turun harus menggunakan tali webbing karena kondisi jalannya yang sangat ekstrim hampir 90 derajat dengan bebatuan yang menonjol tajam di tepiannya semakin memperkuat bahwa ini adalah tanjakan setan.

Sekitar 45 menit dari tanjakan setan kami disuguhkan dengan air panas yang ketika melewatinya saja kacamataku sangat berembut dan akupun harus melewati sungai air panas itu dengan berhati-hati karena selain melepas kacamataku aku juga harus pintar-pintar memilih jalan agar tidak tergelincir kesungai yang panas itu. Walaupun sangat pans, kami sempatkan berfoto disana.

Sepanjang perjalanan turun kamipun masih sama seperti naik ketika bertemu dengan pendaki yang lain dan hal yang lumrah terjadinya saling sapamanyapa saat itu.
Saat perjalanan turun tidak seperti perjalanan naik, kami hanya berhenti disetiap post untuk minum dan beristirahat sejenak.

“Paw, minta sosis”

“nih, Wan” Paw memberikan sosis pada Najwan dan Najwan langsung berusaha membukannya

“permisi mas” ucap seorang bapak-bapak pada kami.

“iya pak, mari” sahut kami

“saya ikut istirahat ya” pinta bapak itu pada kami dan kami menerimanya dengan senyuman.

Tak jarang kamipun menawarkan perbekalan kami pada bapak itu namun bapak itu menolaknya.
Dan saat keadaan awkward, Najwan berulah lagi.

Kini sosis yang ia buka melompat kedepan dan jatuh ketanah, sontak kami berlima termasuk bapak tadi mengatakan

“Yahh..”

Lalu di sambut tawa riang dari kami.

“wah sudah sampai sini aja bapak ya” ucap seorang pemuda dari gerombolan bapak-bapak.

“iya tadi kalian jalannya terlalu lama sih” ucap bapak yang sedari tadi bersama kami.

“haha iya nih biasalah masalah orang tua” ucap salah satu bapak dari gerombolan itu.

“yasudah. Kami lanjut lagi ya, mas, kk” ucap bapak yang sedari tadi bersama kami.

“iya pak, hati-hati” ucap kami berempat.
Tak beberapa lama kami menyadari bahwa ponsel salah satu bapak tersebtul tertinggal diatas tembok berukuran 1 meter di sisi kanan pos ini.

“pak! Pak! Hp nya ketinggalan!” teriak kami memanggil mereka
Namun tiba-tiba, sesosok bapak-bapak muncul dari balik tembok itu sehingga kami berempat terkejut semua.

“iya, nak?! Tadi saya habis ikat sepatu saya” ucap bapak yang tadi mengejutkan kami

“eh.. bapak” ucap kami berempat dan di lanjut tertawa bersama atas kejadian tersebut.
5 menit setelah gerombolan bapak-bapak beranjak pergi, kami pun mulai kembali bergerak turun kembali.

Sepanjang perjalanan turun, kami diikuti oleh segerombolan monyet ekor panjang dengan bulu hitam legam semua yang cukup membuat kami takut melihatnya bahkan tak lama dari situ kami melihat papan peringatan disisi jalan bertuliskan “awas! Perlintasan Babi” yang cukup membuat kami was-was akan kehadiran sesosok babi liar yang mungkin saja tiba-tiba melewati kami atau bahkan menyerang kami.

Cukup panjang kami melewati daerah perlintasan babi, dengan sangat senang ketika kami melihat tugu tempat simaksi pendakian via Cibodas. Aku sangat bersyukur saat itu bahwa aku dan kawan-kawanku sudah berhasil melewati ini semua dengan selamat dan tidak terjadi apa-apa pada kami.
Setelah tiba ditempat simaksi dan melakukan pengecekan turun, kami langsung menuju tempat parkir motor kami untuk beristirahat sejenak dan bersih-bersih diri sebelum pulang.

“Wan, bawa sabun gak?” tanya Ridha

“nih” Najwan mengeluarkan sabun batang dari carriernya

“WANN!!: hentak ku

“eh kenapa Iz?”

“kenapa bang?” Paw dan Najwan terheran

“itu ada sabun batang..?” tanyaku pada Najwan

“iya terus?”

“kenapa kemarin yang dikumpulinnya sabun cair, Najwan..?” ucapku penuh lirih

“eh iya.. kenapa malah sabun cair yang dikumpulin ke bapak simaksi sih?” Paw yang saat itu menyadaripun langsung seakan mengerti perasaanku

“ehehe iya kan sebelumnya Najwan belum sempet balik ke kostan dulu, jadi masih kebawa sabun batangnya” terang Najwan.

“duh, Najwan..” keluhku sedikit kesal.

“ehehe maaf maaf”

“iya gak apa, eh aku mau BAB dulu, jagain tas ya!”
Ucap Paw

“dikira kamu aja yang sakit perut?heh?” setelah mengucapkan hal itu aku langsung berlari menuju toilet umum disusul dengan Paw

“aku duluan!!” teriak Paw sembari menahan pintu toilet agar aku tidak masuk.

“Paw asli ini aku udah sakit perut banget!”
Namun Paw memanfaatkan tubuhnya yang kecil sehingga dia yang mendapatkan toilet tersebut dan aku masuk di toilet satunya. Kenapa kami sempat berebut toilet itu? Karena hanya toilet itu yang memiliki cahaya lampu yang paling terang.

“guys.. maaf ya kalau bau hehe” ucap Paw dari toilet sebelah

“bachot! Aku juga sama nih hahaha” sambutku

“berisik ya kalian di toilet juga!” hentak Najwan

“Loh Wan?! Kok kamu di toilet?” tanyaku

“iya, tadi bang Ridha udah keluar. Gantian dia yang jaga tas” ucap Najwan dari toilet sebelah.

Jadi saat itu kami saling berbicara dari antar toilet dan seperti tidak menghiraukan kami sedang dimana karena kami merasa santai satu sama lain.

Setelah sama-sama BAB dan saling melontarkan sabun untuk mandi dan sudah bersih semua kami melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung pukul 18:40 namun kami berhenti untuk makan malam 
dulu di cianjur. Setelah beres makan malam kamipun melanjutkan perjalanan pulang, namun perjalanan pulang tidak semulus ketika berangkat.

Saat itu aku yang menyetir motor dengan membocengi Ridha, terlalu laju sehingga Najwan dan Paw tertinggal cukup jauh dibelakang. Akupun sempat menghentikan motorku dan berkomunikasi dengan Paw yang tertinggal itu, ternyata mereka sedang beristirahat dimasjid karena jaraknya cukup jauh dan tidak memungkinkan untuk putar balik, akhirnya aku pun memutuskan untuk singgah disalah satu masjid ditepi jalan sembari menunggu Najwan dan Paw yang tertinggal, akupun melaksanakan shalat. 
Selesai shalat aku bertanya pada Ridha mengenai Paw dan Najwan sudah sampai mana namun ternyata mereka masih belum bergerak juga dan baru bergerak tepat pukul 20:45. 15 menit baru mulai bergerak dengan jarak kami yang cukup jauh membuat mataku semakin berat untuk dibuka sehingga saaat itu aku ketiduran.

“Riz.. bangun bangun” ucap Ridha membangunkanku yang ketiduran

“iya, mereka udah sampe?”

“udah didepan. Sini biar aku saja yang nyetir, kasian kamu sudah mengantuk gitu”
Aku menyerahkan kunci motor pada Ridha dan menemui paw serta Najwan yang sudah berada di depan masjid saat itu.

Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan pulang kami. Dengan mataku yang semakin berat untuk dibuka, Ridha dengan sabar menjagaku agar aku tidak tidur dimotor saat itu dengan melakukan rem-gas sehingga helmku terbentur dengan helmnya dan itu yang membuatku terjaga sepanjang jalan.

Kami tiba di Bandung pukul 22:30 WIB mengantarkan Paw ke kostan temannya karena ada suatu kepentingan dan Najwan juga. Aku dan Ridha pulang ke Geger Kalong dengan selamat.

Pukul 23:15 aku sudah sangat siap tertidur dikamar kost ku yang nyaman, sembari terus mengucapkan syukur bahwa kami diberikan keselamatan pergi dan pulangnya.

Dari pendakian pertamaku ini aku mendapatkan banyak pelajran hidup. Bahwa ukuran manusia itu tidak ada apa-apanya ketika aku tiba dipuncak, aku bisa dengan somong melihat kebawah dan menganggap manusia dibawah itu sangat kecil-kecil sehingga aku lupa bahwa akupun kecil dari sudut pandang mereka yang berada dibawah. Janji akan hanya menjadi sebuah janji ketika tidak pernah diusahakan dan saling mengusahakan dan seberapa jauhpun jarak yang memisakhan kami, jika sudah waktunya kita akan bertemu dengan berbagai alasan dan kejadian unik kehidupan kita masing-masing.

Alam itu indah, selama kita mau menjaganya dan alampun akan melindungi kita ketika kita mau melindungi alam itu sendiri. Salam Lestari!


_Lchiffer_282-29/07/2019 (Mt.Gede)

0 Response to "Pada Waktunya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel